THE KITE RUNNER - Khaled Hosseini (Book Review)

Oktober 07, 2017

“Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan, untuk menentukan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.

Atau, aku bisa melarikan diri.
Akhirnya, aku melarikan diri.

Amir telah mengkhianati Hassan, satu-satunya sahabatnya, saudaranya. Rasa bersalah menghantuinya. Menyingkirkan Hassan dari kehidupannya adalah pilihan tersulit yang harus diambil Amir.

Namun setelah Hassan pergi, tak ada lagi yang tersisa dari masa kecil Amir. Seperti layang-layang putus, sebagian diri Amir terbawa terbang bersama angin. “

The Kite Runner novel pertama yang ditulis oleh Khaled Hosseini, seorang dokter penyakit dalam keturunan Afghanistan ini memang menjadi perbincangan publik. Sejak kemunculannya pertama kali pada tahun 2003 buku tersebut berhasil meraih berbagai macam penghargaan dan sanjungan bahkan Kholed Hosseini berhasil meraih 1st New York Times Best Seller, tidak hanya itu tulisan – tulisan dalam buku The Kite Runner-pun berhasil membawanya menjadi 100 orang paling berpengaruh di dunia, berkat tulisannya yang dalam dan kompleks menggambarkan keadaan politik, budaya dan kehidupan di negeri tanpa laut Afghanistan. Dengan brilian Hosseini berhasil membawa pembaca benar – benar hidup dalam setiap detail dan alur ceritanya yang sangat emosional, jiwa kritis dan kemanusiaanpun tidak luput dari perhatian sang penulis dalam buku Kite Runner ini.



Khaled Hosseini - foto via Theguardian

Cerita ini dimulai  dengan kisah dua orang anak yang berbeda strata maupun suku, Amir dan Hasan keduanya sudah bersahabat sejak mereka kecil walau Amir tidak mengakui Hassan sebagai sahabatnya bahkan untuk sekedar menjadi temannya Amir tidak mau mengakuinya karena pada kenyataannya Hassan adalah khadimat dari Amir, Hassan dan ayahnya yaitu Ali sudah menjadi khadimat bagi keluarga Amir sejak lama. Ali dan Hassan telah mengabdi kepada keluarga Amir dengan setia , bahkan saat Amir dan Hasan masih sangat kecil.

“ Lalu dia akan mengingatkan kami tentang ikatan persaudaraan bagi orang-orang satu susuan, ikatan persaudaraan yang tak akan bisa diputuskan, bahkan oleh waktu.
Aku dan Hassan menyusu dari payudara yang sama. Kami mengambil langkah pertama di tanah pada halaman yang sama. Dan, di bawah atap yang sama, kami mengucapkan kata pertama kami.
Kata pertamaku adalah Baba.
Kata pertamanya adalah Amir. Namaku. “

 Amir adalah keturunan Pashtun – Sunni dan anak seorang pengusaha sukses di Afghanistan, sedangkan Hassan adalah keturunan Syi’ah – Hazara dan anak dari pelayan bernama Ali yang menderita kelumpuhan pada wajahnya sehingga membuat wajahnya tidak bisa tersenyum dan selalu terlihat seram. Perbedaan dari ideologi keduanya memang menjadi perhatian karena di Afghanistan karena kedudukan kaum Hazara hina dan rendah di mata kaum Pashtun.

Tapi tidak berlaku untuk Baba (ayah Amir), Baba memperlakukan Ali dan Hassan dengan baik bahkan setiap hari ulang tahun Hassan, Baba akan memberikan hadiah dan hadiah yang paling spesial yang diberikan Baba untuk Hassan adalah memberikan operasi untuk mengobati bibir sumbingnya yang telah ia derita sejak lahir yang tidak jarang perlakuan baik Baba kepada Hassan dan Ali membuat Amir cemburu. Ditambah sikap pengecut yang dimiliki Amir tidak seperti yang Baba harapkan, Hassan yang selalu membela Amir , selalu menjadi tameng untuk Amir, selalu membereskan masalah – masalah yang dilakukan oleh Amir.

Amir dan Hassan memiliki hobi yang sama yaitu bermain layang – layang, mungkin hobi ini bukan hanya hobi mereka tetapi sudah menjadi hobi akbar dari semua warga Afghanistan. Semua orang akan menunggu waktunya musim dingin untuk ikut dalam lomba layang – layang karena memenangkan lomba ini merupakan hal yang sangat membanggakan. sepanjang hari Amir dan Hassan berlatih bermain layang – layang. Sampai pada saatnya Amir memenangkan perlombaan dan Hassan yang bertugas menggulung benang dan mengejar layang – layang langsung mengejar layang – layang terakhir yang menjadi penentu kemenangan Amir untuk dipajang dirumahnya. Dan saat itu terjadi suatu kejadian yang tidak diharapkan semua orang, tidak diharapkan Amir, Hassan, Ali bahkan Baba sekalipun.

Setelah kejadian tersebut Amir harus menanggung perasaan bersalah seumur hidupnya, sampai Amir selalu merasa terganggu dengan hanya melihat Hassan sekalipun. Amir  tidak tahan lagi sehingga melakukan pemfitnahan dan menghasut Hassan agar bisa keluar dari rumahnya.

 Amir menang, Hassan terbuang.

Beberapa waktu berlalu tentara Rusia yang mengambil alih negeri Afghanistan membuat kehidupan Amir harus tersingkir, berbagai macam konflik politik dan kekejaman yang merajalela harus membuat Amir dan keluarga hijrah ke Amerika untuk memulai kehidupan yang baru disana. Amir pergi dari tanah airnya membawa kenangan masa kecilnya dan juga rasa bersalahnya.

Selama hidupnya Amir berusaha menebus segala rasa bersalahnya, rahasia – rahasia besar mulai terungkap yang sangat berdampak kepada kehidupan Amir. Ia menembus masa lalu dan membayar rasa bersalah untuk Hassan sepanjang hidupnya, saat sudah dewasa ia sadar bahwa rasa bersalah itu harus dibayar. Ia kembali ke Afghanistan untuk menebus itu semua. Menggunakan berbagai macam cara dan menemukan hal – hal yang tidak diduga selama perjalanannya memenebus semua rasa bersalah yang dibuat di masa lalunya.

Buku ini sangat kental dengan pesan kekeluargaan, politik, kemanusiaan, pesan moral dan budaya – budaya di Afghanistan. Hosseini berhasil membawa pembaca tidak bisa berhenti lama untuk tidak melanjutkan membaca ceritanya, membuat kita terbawa emosi dan memahami apa yang pernah terjadi di negeri tanpa laut Afghanistan.

“Untukmu keseribu kalinya... “



*review dibuat dengan melihat beberapa reverensi 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.